Well, sudah lama tidak menulis kembali. Tenggelam bersama pekerjaan kantor dan drama kehidupan lainnya. Hehe.
Jadi tulisan ini semata-mata buat mengingatkan saya supaya belajar lagi. Belajar hidup sehat. Belajar ikhlas.
Akhir Juni lalu tepatnya tanggal 28 Juni di siang hari, saya merasa sakit di perut sebelah kiri saya. Saya pikir sakit perut biasa. Setengah jam kemudian kok malah sampe saya harus tiduran. Kala itu saya masih di kantor dan besoknya ada event klien saya sehingga terpaksa merevisi kerjaan sambil tiduran.
Lama kelamaan sudah tidak tertahankan sehingga saya minta tolong teman saya untuk antarkan saya ke UGD di RS terdekat. Sakitnya minta ampun sampai ke bagian pinggang kiri bawah dan itu bikin saya nangis ga kuat.
Saya langsung dapat infus untuk redain sakitnya tapi tetap saja sampai menjelang maghrib saya masih nangis. Diagnosa pertama dari dokter umum UGD adalah infeksi saluran kemih. Kemudian saya diminta untuk tes darah dan urin.
Hasilnya pun memang positif ada kristal di urin saya dan bakteri di darah saya. Saya pun menarik kesimpulan karena saya memang terkadang jarang minum air putih.
Namun ketika dokter spesialis dalam melakukan visit di jam 10 malam di UGD, dokter pun membaca tes darah dan urin saya tapi menyarankan saya untuk ke dokter kandungan. Karena dia pikir sakitnya sudah bagian bawah perut sehingga dibutuhkan konsultasi lebih lanjut ke dokter kandungan.
Saya pun di saat itu masih tenang karena saya pikir memang infeksi saluran kemih. Saya cari di google pun memang gejala nya sama seperti yang saya alami meskipun ada satu dua gejala yang tidak dialami juga.
Saya diminta untuk dirawat karena ditakutkan akan timbul lagi rasa sakitnya meskipun kala itu di jam 11 malam saya sudah merasa baikkan meskipun masih agak terasa sakit.
Besoknya saya diminta USG abdomen atas dan bawah yang mana termasuk pengecekan bagian reproduksi sebelum ke dokter kandungan dimana USG tersebut dilakukan di siang hari.
Saya pun kaget. Ternyata saya punya kista di ovarium sebelah kiri dan ukurannya sudah lebih dari 5 cm menurut perkiraan dokter.
Saat itu rasanya saya mau nangis. Tapi saya tahan. Saya ga boleh cepat cengeng. Meskipun setelahnya sampai di kamar akhirnya saya menangis.
Pada saat itu saya bingung. Saya sedih. Saya pikir kista itu tidak akan tumbuh sebelum hamil. Padahal saya belum menikah. Saya takut mempengaruhi kesuburan saya. Saya takut saya akan susah punya anak. Mengingat setahun lagi saya berencana menikah dengan pacar saya.
Saya pun langsung menghubungi pacar saya untuk jenguk saya dan mengabarkan berita tersebut.
Di malam nya saya diantar oleh suster ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dan benar saja, memang saya mempunyai kista tapi hanya di ovarium sebelah kiri. Saya ingin menangis lagi tapi saya tahan.
Sejujurnya dari dokter kandungan ini, saya tidak merasa puas dengan jawabannya. Malah saya yang banyak tanya dengan apakah ini mempengaruhi kesuburan, tindakan selanjutnya harus bagaimana dan lainnya. Sebagai seorang pasien yang belum tahu banyak perihal kista, saya merasa dokter ini tidak mengedukasi pasiennya dengan benar. Malahan dokter tersebut meminta saya untuk tes CA 125, dimana kemudian saya cari tahu di Google bahwa tes tersebut adalah tes tumor marker.
Bahkan dia saja tidak menjelaskan kenapa harus melakukan tes tersebut.
Akhirnya saya memutuskan untuk pulang di besok hari dan mencari second opinion. Saya meminta nasihat kakak saya yang memang dulunya mempunyai kista ketika hamil lalu ditindak operasi yaitu laparatomi. Dokter yang diajukan adalah dokter Hari di Kemang Medical Care dan dokter Ivander di RSIA Citra Ananda. Akhirnya saya pun memilih dr Ivander berdasarkan penjelasan dari kakak saya. Meskipun tindakan laparotomi kakak saya dilakukan oleh dokter Hari.
Di tanggal 2 Juli akhirnya saya ke dokter Ivander untuk konsultasi lebih lanjut mengenai kista saya.
Kista saya didiagnosa adalah jenis kista coklat.
Kesan pertama berkonsultasi dengan dokter Ivander itu adalah dokternya sangat menjelaskan dengan terperinci. Bahkan kita diberikan keleluasaan untuk bertanya banyak. Sebagai seorang perempuan yang masih miskin ilmu perihal reproduksi, saya merasa teredukasi.
Saya langsung diberikan 2 pilihan tindakan karena kista saya sudah cukup besar, yaitu laparatomi atau laparaskopi. Dua tindakan tersebut dijelaskan terperinci dalam segi kelebihan dan kekurangan.
Saat itu saya lebih memilih laparaskopi karena masa pemulihan yang cepat meskipun lebih mahal, tapi memang masih bimbang juga.
Saya diminta untuk datang kembali agar dilakukan USG melalui anus untuk melihat kista dengan lebih jelas. Saya takut karena belum pernah. Dikarenakan saya belum menikah sehingga tidak dilakukan USG transvaginal.
Ternyata hanya di awal saja USG anus itu menyakitkan hehe setelahnya malah biasa saja lho.
Rangkaian pemeriksaan selanjutnya adalah tes tumor marker untuk mengetahui apaka kista saya jenis jinak atau ganas. Meskipun dokter menjelaskan bahwa kebanyakan kist adalah jinak, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kista dapat bersifat ganas.
Saya cemas dan takut kalau ternyata saya memiliki kista yang ganas. Tes tumor marker pun saya jalani dengan perasaan yang campur aduk menunggu hasilnya.
Sehari setelah hasil keluar, alhamdulillah hasilnya bagus. Saya pergi ke dokter lagi untuk pembacaannya. Dinyatakan memang bagus dan saya diminta untuk memutuskan tindakan apa yang mau saya ambil. Meskipun ragu akhirnya saya memilih tindakan laparoskopi.
Tindakan laparaskopi saya dijadwalkan pada tanggal 20 Juli di pagi hari. Dikarenakan RSIA Citra Ananda tidak memiliki peralatan laparoskopi, saya pun dirujuk oleh dokter untuk ditindak di RSIA Bunda Jakarta.
Beberapa hari sebelum operasi, saya melakukan tes darah dan urin lalu berkonsultasi ke dokter anestesi. Dokter anestesi pun menjelaskan saya bahwa anestesi yang dilakukan adaalah bius total. Dikarenakan saya memiliki riwayat asma, sehingga perlu dilakukannya inhalasi sebelum tindakan operasi untuk mencegah serangan asma ketika sedang di operasi.
Setelah dari dokter anastesi, malamnya saya sudah masuk RS. Saya diharuskan puasa dari jam 4 pagi.
Menjelang operasi, perasaan cemas semakin meningkat. Apalagi ini adalah operasi pertama saya.
Lalu jam 12 siang nya, saya diantarkan suster untuk ke ruang operasi. Sebelum tindakan, saya berada di ruang pra operasi, dipersiapkan beberapa obat-obatan dan infus untuk saya. Tak lama kemudian, dr Ivander pun muncul untuk menjelaskan prosedur dan kemungkinan yang terjadi. Begitu mendengarnya, rasanya saya mau membatalkan saja karena takut. Saat itu saya benar-benar cemas tidak karuan. Saya berusaha untuk tetap tenang dengan berdoa dan nyanyi lho hehe.
Lucu nya para suster di ruangan operasi suka bercanda lho. Jadi bikin pasien nyaman. Mungkin karena tingkat stress tinggi juga ya sehingga dibawa santai.
Jam 1 siang tiba dan saya diminta untuk ke ruangan operasi. Saya diminta untuk tidur dengan posisi seperti mau melahirkan dimana kedua kaki saya diangkat.
Tidak lama kemudian, seperti rasanya cepat sekali tapi saya terbangun dengan adanya selang di hidung dan alat untuk memonitor jantung.
Saya merasa belum bisa tersadar sepenuhnya karena masih dalam pengaruh obat bius. Ada perasaan yang beda dengan perut saya, seperti merasa kaku. Entah mengapa saya pun memangis. Waktu pun menunjukkan pukul 17.30.
Setelah sekitar satu jam, saya dipindahkan ke ruangan saya dimana saya pun masih belum tersadar sekali. Sering tiba-tiba ketiduran. Kemudian malamnya pacar pun datang untuk menjenguk.
Dua malam saya habiskan setelah tindakan operasi. Saya pun mengambil cuti selama seminggu untuk masa pemulihan.
Well, begitulah perjalanan yang saya alami di akhir Juli lalu. Berat rasanya selama minggu tersebut dijalankan karena kecemasan yang saya alami.
Kalau bisa dibilang, ini peringatan untuk saya agar sayang dengan diri saya sendiri.